SEJARAH

Negeri Rutong terletak di kawasan Teluk Ambon Baguala. Franciscus Xaverius, dalam kunjungannya ke negeri-negeri di Pulau Ambon, menyebut negeri ini terletak di balik “batu patah”. Dari negeri ini, menurutnya kita dapat melihat sebuah tanjung yang indah bentuknya, yakni tanjung Riki, dan di dalam lautnya tampak pasir-pasir yang berwarna-warni. Yoseph Kam, di kemudian hari malah senang memandang pasir-pasir itu dari ketinggian negeri lama, kala ia melakukan perjalanan pelayanannya ke daerah ini. Nama Rutung diambil dari akta “rutui” yang berarti “kumpulan batu tempat berkumpul (musyawarah)”. Kata “rutui” sendiri menunjuk pada sebuah peristiwa musyawarah antara datuk-datuk negeri dengan para pendatang dari Amakele Lorimalahitu (Pulau Seram). Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal terbentuknya hubungan gandong antara Rutung dengan Rumahkay.

Negeri Rutong terletak di Pantai selatan jazirah Leitimur, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, berbatasan dengan negeri Hutumuri di sebelah timur dan negeri Leahari di sebelah Barat. Franciscus Xaverius, dalam kunjungannya ke negeri-negeri di Pulau Ambon, menyebut negeri ini terletak di balik “batu patah”. Dari negeri ini, menurutnya kita dapat melihat sebuah tanjung yang indah bentuknya, yakni tanjung Riki, dan di dalam lautnya tampak pasir-pasir yang berwarna-warni. Yoseph Kam, di kemudian hari malah senang memandang pasir-pasir itu dari ketinggian negeri lama, kala ia melakukan perjalanan pelayanannya ke daerah ini. Nama Rutung diambil dari akta “rutui” yang berarti “kumpulan batu tempat berkumpul (musyawarah)”. Kata “rutui” sendiri menunjuk pada sebuah peristiwa musyawarah antara datuk-datuk negeri dengan para pendatang dari Amakele Lorimalahitu (Pulau Seram). Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal terbentuknya hubungan gandong antara Rutung dengan Rumahkay.

Sebelum itu negeri Rutung terletak jauh ke bagian gunung Horil, berbatasan dengan Soya dan Ema. Negeri ini dikenal sebagai negeri pertama, dengan nama “Nuru Aman Mena Muri”, atau “Negeri yang aman di bagian depan dan di belakang”. Bekas negeri ini masih ada sampai sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan “Batu Minong Aer”. Di Nuru Aman Mena Muri, komunitas orang-orang Rutung dipimpin oleh seorang Kapitan bergelar “Upu Latu Sibenung”, dari mata rumah Soumahu – Makatita Lisa. Di sana mereka jauh dari kontak dengan orang-orang luar. Kontak pertama diperkirakan terjadi dengan orang-orang dari Liang (Leihitu – P. Ambon), yang dikepalai “Maulana Malik Akipai Lessy”, salah seorang putra Lessy yang berkelana mencari saudari perempuannya ke Haruku. Karena tidak ditemui, ia lalu berlayar dan tiba di Rutung, lalu menetap di sana karena gagal bertemu adiknya itu; tidak pulang lagi ke Liang.

Para datuk Lessy kemudian membangun permukiman mereka di Ama Buasa (Bapak Berpuasa). Lambat laun, penduduk Rutung di Nuru Aman Mena Muri, turun dan tinggal bersama di Ama Buasa, lalu membangun permukiman baru (negeri kedua). Dibangun pula Baileu, berupa susunan batu, yang lokasinya kini disebut Negeri Lama. Di situ akan tampak susunan batu Kapitan, Malessy dan Mauweng, yang dikelilingi ole batu-batu tempat duduk kepala soa pada saat rapat Saniri. Ketika menempati Ama Buasa, mata rumah Makatita membuat permukiman agak terpisah, dan menetap di Mamina. Di Ama Buasa, sebetulnya orang Rutung telah mengalami kontak dengan Islam dari Liang. Hanya kelompok ini dalam jumlah yang kecil, dan tidak bertujuan menyiarkan agama. Mereka hanya sekelompok keluarga yang enggan pulang karena kegagalan dalam menjalankan tugasnya. Jadi Rutung dipilih sebagai tempat persembunyian.

Dalam waktu yang tidak terlalu jauh, orang Rutung juga mengalami kontak dengan para pendatang dari Jawa, yakni dari Kerajaan Majapahit. Sisa peninggalan yang masih ada di Rutung sampai saat ini adalah “Maspait”. Maspait sendiri pada awalnya adalah sebutan khusus utnuk “Raden Mas Inang Majapahit”, seorang putra dari Kerajaan Majapahit, yang menetap di Rutung bersama salah seorang pengawasnya, Naroja. Ia berkenderaan Kereta Kuda Emas, dan setiap sore, sering berjalan-jalan ke pesisir pantai bersama para pengawalnya. Oleh Upu Latu Sibenung, mereka diberi tempat tinggal di Ama Buasa, di samping barat Baileu Negeri (Negeri Lama). Dan mata rumah Rewaheli Timu Timu yang bertugas menjaga (pintu) keluar masuk Raden Mas Inang Majapahit ini. Pada zaman Belanda, istilah Maspait kemudian menjadi gelar bangsawan untuk pemerintah Rutung dengan sebutan Maspait Printah. Peristiwa latinya moyang Kakerissa, Corputty dan Atapary, sebagai cikal bakal terjadinya hubungan gandong Rumahkay-Rutung, terjadi ketika orang-orang Rutung mendiami negeri Ama Buasa ini.

Di zaman pemerintahan Belanda, orang-orang Rutung diturunkan dari Ama Buasa ke negeri yang sekarang. Kapan tepatnya peristiwa itu, sudah tidak diketahui secara pasti. Ketika turun menetap di negeri yang sekarang, teritori negeri dibagi dalam dua bagian, yakni Uku dan Weroang, yang dipisahkan oleh Wai Mandoi. Daerah Uku bertugas menjaga perbatasan dengan Hutumuri, sedangkan Weroang untuk menjaga perbatasan dengan Hukurila dan Ema. Daerah Weroang ditempati oleh soa-soa yang pada saat di Ama Buasa mendiami bagian Barat Beileu. Sedangkan Uku ditempati mata rumah Makatita, yang mendiami bagian Utara Baileu Negeri. Mata rumah Lessy, kemudian mendiami pesisir pantai di Tepa Puting, berdekatan dengan dusun soa, yang ditumbuhi tanaman sagu, yang dibawa oleh para datuk dari Rumahkay. Dalam waktu selanjutnya mereka berpindah ke negeri, dan menempati daerah bagian Selatan, berdekatan dengan pantai. Konstruksi permukiman seperti itu masih ada sampai saat ini. Di negeri ketiga ini, pemerintahan negeri ditata secara rapih. Soa-soa tetap difungsikan. Hanya pemerintahan Kapitan beralih ke Raja dengan gelar Maspait Printah.